• Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 9 No 1 (2023)

    Kelahiran pesantren memiliki tugas yang bersifat normatif dan historis. Secara historis,  pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi suatu masyarakat yang telah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma’ruf nahi munkar). Kehadirannya dengan demikian bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan pada masyarakatnya dari segala keburukan moral, penindasan politik, pemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi. Secara normatif, didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dari dimensi kepercayaannya, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.

    Oleh karena itu, pendidikan pesantren memfokuskan pada kajian kitab kuning secara mendalam dan komprehensif di satu sisi dan di sisi yang lain mencetak para pendakwah yang memiliki karakter yang kuat sebagai juru dakwah dan teladan di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan pesantren sejak awal berusaha untuk menyeimbangkan antara kekuatan spiritual, intelektual dan moral dalam diri setiap lulusannya. Dalam teori-teori pendidikan lahir juga model kecerdasan seperti Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Emosional.

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 8 No 1 (2022)

    Pen­didikan merupakan sebuah ke­kuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan, kepribadian, dan kehidupan setiap individu. Pendidikan hadir dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari fitrah manusia, sebab dimanapun ma­nusia berada pasti akan terjadi proses pendidikan. Filosofi long live education menjadi gambaran bahwa manusia akan mengalami proses belajar seumur hidupnya. Ditinjau dari aspek pedagogi, manusia dipandang sebagai makhluk Homo edocandum (manusia yang harus dididik). Manusia dikategorikan sebagai animal educabile (binatang yang dapat dididik). Karena itu menurut aspek ini pendidikan berfungsi untuk ‘memanusiakan manusia”. Pendidikan yang diberikan kepada manusia merupakan bimbingan terhadap perkembangan pribadi yang bersifat menyeluruh dengan segala aspeknya (cipta, karsa, jasmani dan rohani )yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan dapat membangun pengertian.

    Perintah pertama dalam al-Qur’an Surat al-‘Alaq : 1-5 secara jelas menggambarkan bagaimana pendidikan itu dijalankan. Dasar berpijak dalam proses pendidikan adalah membaca. Membaca semua objek yang ada pada diri manusia, kehidupan sosial, dan alam semesta. Pendidikan mengajarkan manusia memiliki kemampuan untuk menuangkan daya intelektual dalam tulisan yang dapat dibaca dan menggerakkan peradaban. Pendidikan mengajarkan sesuatu yang orang sebelumnya tidak mengetahui menjadi mengetahuinya. Seorang ulama yang bernama Imam Ja’far as-Shodiq dalam kalimat hikmahnya menyampaikan “Orang yang mengetahui perkembangan zamannya, maka tidak akan disesatkan oleh zamannya”.

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 7 No 2 (2021)

    Dunia pendidikan merupakan interaksi aktif antara guru dan murid. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga membentuk karakter yang baik. Undang- undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 menegaskan bahwa guru profesional adalah pendidik yang memiliki tugas utama yaitu mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

    Tantangan pendidikan semakin komplek. Sebab, pendidikan disamping menjalankan tugas undang-undang juga dituntut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan informasi terkini-abad 21. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 Pasal 3 memberikan tugas untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

    Seiring dengan perkembangan tersebut, maka pembelajaran abad 21 dirancang untuk peserta didik agar mampu mengikuti arus perkembangan teknologi terbaru.  Terutama pada ranah komunikasi yang telah masuk ke berbagai sendi kehidupan, maka dari itu siswa diharuskan untuk bisa menguasai empat keterampilan belajar (4C), yakni: Critical thinking and problem solving (berpikir kritis dan menyelesaikan masalah), Creativity (kreativitas), Communication skills (kemampuan berkomunikasi), dan Ability to work Collaboratively (kemampuan untuk bekerja sama).

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 6 No 2 (2020)

    Pendidikan pesantren adalah bagian dari pendidikan nasional. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disebutkan pada pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratid serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional menekankan aspek pendidikan karakter dan kecakapan kreatif untuk menjawab tuntutan dunia global. Kurikulum sebagai penterjemahan dari tujuan pendidikan nasional sebagaimana dituangkan dalam Pasal 36 ayat (3) bahwa kurikulum harus memperhatikan beberapa aspek seperti tuntutan dunia kerja, perkembangan iptek dan eni, serta dinamika perkembangan global.
    Oleh karena itu, relevansi antara pendidikan pesantren dengan dunia kerja harus terus ditingkatkan seiring dengan meningkatnya tuntutan global. Tuntutan global terhadap kebutuhan dunia kerja membutuhkan SDM yang memiliki skill terbaik, kreatifitas dan inovasi, serta efisiensi dan produktivitas. Dalam konteks ini, Karen Wilson dalam tulisannya “Entrepreneurship Education in Europe (2008), menekankan hubungan antara pendidikan dengan dunia kerja yang disebutnya sebagai Academic-Business Links. UNESCO sebagai organisasi internasional yang mengurusi semua hal terkait pendidikan di bawah PBB telah pula menegaskan empat pilar pendidikan abad 21 yaitu learning to think, learning to do, learning to be dan learning to live together

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 6 No 1 (2020)

    Pendidikan 4.0 sebagai turunan dari revolusi industri 4.0 menuntut lembaga pendidikan untuk terus menerus meningkatkan mutu pendidikannya. Pemanfaatan teknologi digital (cyber system) dalam proses pembelajaran menjadi tuntutan yang tidak bisa ditolak. Berkait dengan standar mutu, Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2013 tentang Standar nasional Pendidikan (SNP) menetapkan 8 standar, yaitu: Standar Pengelolaan, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi, Standar Proses, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian. Unsur sangat penting dalam peningkatan mutu adalah sistem evaluasi kinerja untuk memastikan kedelapan standar mutu pendidikan terpenuhi. Dalam tulisannya, Asyhuri, Dosen Pascasarjana IAIN Salatiga dan Pengajar di PPMI Assalaam mengkaji tentang Evaluasi Kinerja Pegawai Di Pesantren (Studi kasus di PPMI Assalaam Tahun 2018-2019. Problem akademik dalam penelitian ini adalah relasi antara evaluasi kinerja dengan nilai-nilai moral yang dipegangi pesantren seperti nilai keikhlasan yang dijalani mulai dari kyai sampai santri. Asyhuri menemukan bahwa model evaluasi kinerja di PPMI Assalaam adalah model kombinasi tentang sifat pribadi, perilaku kerja dan hasil kerja. Rekomendasi peningkatan mutu lembaga dapat dilakukan dengan menerapkan prosedur tetap (protap) bagi semua pegawai, manajemen karier, dan mutasi pegawai berkala untuk peningkatan kinerja.

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 5 No 2 (2019)

    Pesantren dari masa ke masa selalu menempatkan diri pada pusat dinamika keumatan. Segara genuine, pesatren sebagaimana dijelaskan Zamakhsyari Dhofir (1983) dalam “Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Kyai”, merupakan lembaga pendidikan yang berbasis pada kajian keislaman klasik. Menurutnya, kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”. Hal senada disampaikan Martin van Bruinessen dalam “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia)” bahwa munculnya pesantren adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad lalu. Dalam perkembangannya, pesantren, menggunakan istilah Bourddieu menjadi sebuah habitus sosial yang menghubungkan proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri umat Islam. Sebagai habitus, pesantren mempunyai sistem nilai yang terwariskan dari generasi ke generasi di antaranya kebersahajaan, pelestarian tradisi, budaya keilmuan, dan nasionalisme. Bahkan Clifford Geertz menyebut kekuatan agama yang menggerakkan pesantren sebagai a cultural system. Sebagai sistem kebudayaan, kekuatan agama dalam pesantren berfungsi untuk membentuk perasaan dan motivasi yang kuat dan kemampuan bertahan dalam diri manusia serta memberikan karakter terhadap aktivitas-aktivitasnya dan kualitas dari pengalamannya. Pada gilirannya, Geertz berdasarkan hasil penelitian tentang masyarakat Jawa pada tahun 1960-an, mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Santri sebagai sebutan bagi masyarakat pesantren memiliki perasaan dan motivasi yang kuat dalam mempengaruhi sistem budaya dan politik. Pesantren sebagai habitus memungkinkan tumbuh subur berbagai sistem nilai dalam kehidupan pesantren dari yang adaptif dengan lingkungan sampai kepada yang kontraproduktif dengan lingkungan. 

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 5 No 1 (2019)

    Pendidikan selalu mengalami pembaharuan seiring dengan perubahan yang terjadi dalam lingkup kehidupan sebuah zaman baik perubahan teknologi maupun ekonomi. Seorang ahli pendidikan H. Horne menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada tuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. Sesuai dengan fungsinya, pendidikan selalu dipercaya untuk membentuk masyarakat agar dapat menjadi pribadi yang aktif, produktif dan dinamis. Seorang peneliti yang bernama Steenbrink menegaskan dalam bukunya, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, bahwa pembaharuan pendidikan Islam merupakan salah satu faktor yang mendorong perubahan Islam di Indonesia. Menurut Steenbrink, cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Al-Qur’an dan studi agama, sehingga pembaharuan pendidikan Islam pada permulaan abad ke-20 tidak bisa dihindarkan baik dari segi metode maupun isinya.

     

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 4 No 2 (2018)

    Pada abad ke-6, Rasulullah SAW sudah menegaskan kekuatan Islam terletak pada akhlak yang mulia. Para filusuf muslim seperti Ibnu Maskawih, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan lainnya menegaskan pendidikan akhlak dan religiusitas sebagai rumusan karakter utama seorang manusia. Pondok pesantren sebagai pewaris risalah kenabian dan filusuf Islam masih menjadikan akhlak mulia sebagai pilar utama dalam proses pendidikan pondok pesantren. Dalam konteks dunia Barat, Thomas Lickona pada tahun 1990-an menulis sebuah karya yang berjudul “The Return of Character Education”. Karya ini memberikan kesadaran di dunia pendidikan secara umum tentang konsep Pendidikan Karakter sebagai konsep yang harus digunakan dalam
    kehidupan ini dan saat itulah awal kebangkitan pendidikan karakter menjadi lebih dikembangkan oleh banyak orang di dunia Barat. John Dewey misalnya, sebagaimana dikutip oleh Frank G. Goble pada tahun 1916, pernah berkata, “sudah merupakan hal lumrah dalam teori pendidikan bahwa pembentukan watak merupakan tujuan umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti di sekolah”. Jurnal Ilmiah Pesantren pada edisi ini menempatkan kajian pendidikan karakter sebagai pembuka tulisan. Tulisan Ari Kurniawati tentang “Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Berbasis Agama Dan Budaya Bangsa”, berusaha membuktikan bahwa karakter dibangun melalui pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan agama dan budaya. Pendekatan ini dengan jelas dijabarkan dalam tujuan pendidikan nasional di dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003
    tentang sistem pendidikan nasional. Hal ini menunjukkan pendidikan nasional berbasis kepada konsep ketuhanan yang maha esa dan nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat. 

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 4 No 1 (2018)

    Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Sebagai sebuah pendidikan indigenous di Indonesia pesantren terus melakukan adaptasi dengan perkembangan zaman yang terkenal dengan prinsip “memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil penemuan baru yang lebih baik”. Prinsip ini yang mendidik pesantren untuk tidak pernah berhenti dalam membenahi manajemen pesantren, baik manajemen organisasi maupun manajemen pembelajaran. Pesantren pada awal berdiri abad ke-15 dan menjamur pada abad ke-17 di tanah Jawa berbasis pada figur kyai dalam bentuk sorogan dan bandongan, belum dijumpai sistem klasikal. Dalam perkembangannya, ketika Hindia Balanda memperkenalkan model klasikal dalam pendidikan di Nusantara, pesantren merespon dengan munculnya model klasikal di Muallimin Yogyakarta, Darul Ulum Jombang, dan Mambaul Ulum Surakarta. Budaya adaptif sistem pengelolaan pesantren juga merambah di bidang keilmuan. Tradisi pendidikan pesantren awal menunjukkan bahwa keilmuan pesantren hanya terbatas kepada bidang fikih, akhlak, akidah, al-Qur’an, dan hadis. Perkembangan mutakhir pesantren, ada gerakan keilmuan yang sangat dinamis. Pesantren memasukkan ilmu-ilmu eksakta, ilmu-ilmu sosial, Bimbingan Konseling dan bahkan program Cambridge dalam kurikulum pesantren. Perkembangan ini menjadi sangat menarik karena pesantren tetap berpegang kepada induk keilmuan yang bersumber dari Al-Qur’an As-Sunnah

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 3 No 2 Juli (2017)

    Kata Pengantar
    Pendidikan pesantren pada awal berdirinya lebih berbasis pada pendidikan masjid dan pendidikan kyai yang berbasis kitab kuning. Ketuntatasan pembelajaran didasarkan pada ketuntasan kitab kuning daripada ketuntasan berdasarkan kelas. Dari segi metodologi pembelajaran, Karel A. Steenbrink dalam Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern memberikan gambaran tentang kondisi pesantren yang lebih menitikberatkan pada pembelajaran keagamaan dengan metode hafalan yang dominan.

    Dalam perkembangannya, pendidikan pesantren mengalami pergeseran dari kegiatan mengaji menjadi kegiatan berbasis madrasah dengan pendekatan klasikal dalam pembelajarannya. Munculnya madrasah menurut para sejarawan pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaruan pendidikan Islam di Indonesia. Alasannya adalah secara historis awal kemunculan madrasah dapat dilihat pada dua situasi; adanya pembaruan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda. Diawali oleh Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah
    bersama KH Mansyur (1914) dan KH. Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 3 No 1 Januari (2017)

    Kata Pengantar
    Pendidikan pesantren sesuai dengan karakteristiknya yang “modern” selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karakter modernisasi pesantren berpijak kepada tiga prinsip perkembangan pesantren yang selaras dengan perkembangan zaman. Pertama, al-muhafadatu ala al-qadim as-saleh, yaitu kemampuan untuk memegangi nilai-nilai tradisi yang masih relevan. Prinsip ini menunjukkan bahwa pijakan modernisasi pesantren di atas prinsip-prinsip tradisi pesantren. Kedua, wa al akhdu bil jadid al-aslah, yaitu mengambil hasil penemuan kontemporer yang dapat memberikan nilai tambah bagi pesantren. Prinsip mengajarkan transparansi pesantren dan kemauan untuk berinteraksi dengan dunia luar. Ketua,wa al akhdu bil jadid al-ijad, yaitu mengambil nilai-nilai baru sebagai hasil dari eksperimentasi pesantren. Prinsip ini secara ambisius dilakukan pesantren untuk menemukan secara generik apa yang dibutuhkan pesantren dalam rangka mensetarakan paradigma pesantren dengan dunia luar.

  • jurnal ilmiah pesantren Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 2 No 2 Juli (2016)

    Masa depan peradaban Indonesia haruslah bertumpu pada peradaban yang berbudi luhur, yang tingkat keunggulannya diharapkan mampu bersaing dengan peradaban-peradaban dunia lainnya. Lembaga pesantren dengan visinya yang selalu berkembang menyesuaikan zamannya, dewasa ini mengalami berbagai perubahan fundamental yang sesungguhnya turut memainkan peranan penting dalam proses transformasi peradaban Indonesia modern. Salah satu kesimpulan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren ; Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia” tersebut di atas menggambarkan pesantren telah mengalami perubahan dari modelnya yang tradisional yang berbasis pada corak kekyaian menjadi lembaga modern yang menjadi titik temu antara khasanah tradisional dan khasanah modern.



  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 2 No 1 Januari (2016)

    Lembaga pendidikan pesantren bercirikan empat unsur penting, yaitu Kyai, Santri, Masjid, dan Asrama. Pada awal perkembangan pesantren, Kyai pesantren menjadi sosok sentral pesantren yang menjadi daya tarik bagi santri. Pesantren tidak mengundang santri ke pesantren, tetapi para santrilah yang datang untuk belajar menuntut ilmu kepada kyai tersebut. Sebagai sebuah konsekuensi dari berkumpulnya banyak orang maka muncullah asrama untuk ditempati para santri, dan masjid sebagai pusat pembelajaran santri. Model pembelajaran belum menggunakan sistem klassikal tetapi menggunakan model berhadap-hadapan antara Kyai dengan santri (Sorogan) atau model pemberian materi secara berjamaah tanpa mengenal tingkatan pendidikan.

  • Jurnal Ilmiah Pesantren
    Vol 1 No 1 Januari (2015)
1 - 14 of 14 items