Cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Sebagai sebuah pendidikan indigenous di Indonesia pesantren terus melakukan adaptasi dengan perkembangan zaman yang terkenal dengan prinsip “memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil penemuan baru yang lebih baik”. Prinsip ini yang mendidik pesantren untuk tidak pernah berhenti dalam membenahi manajemen pesantren, baik manajemen organisasi maupun manajemen pembelajaran. Pesantren pada awal berdiri abad ke-15 dan menjamur pada abad ke-17 di tanah Jawa berbasis pada figur kyai dalam bentuk sorogan dan bandongan, belum dijumpai sistem klasikal. Dalam perkembangannya, ketika Hindia Balanda memperkenalkan model klasikal dalam pendidikan di Nusantara, pesantren merespon dengan munculnya model klasikal di Muallimin Yogyakarta, Darul Ulum Jombang, dan Mambaul Ulum Surakarta. Budaya adaptif sistem pengelolaan pesantren juga merambah di bidang keilmuan. Tradisi pendidikan pesantren awal menunjukkan bahwa keilmuan pesantren hanya terbatas kepada bidang fikih, akhlak, akidah, al-Qur’an, dan hadis. Perkembangan mutakhir pesantren, ada gerakan keilmuan yang sangat dinamis. Pesantren memasukkan ilmu-ilmu eksakta, ilmu-ilmu sosial, Bimbingan Konseling dan bahkan program Cambridge dalam kurikulum pesantren. Perkembangan ini menjadi sangat menarik karena pesantren tetap berpegang kepada induk keilmuan yang bersumber dari Al-Qur’an As-Sunnah